Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GUNUNG SUGIH
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2017/PN Gns 1.ABDULLAH BIN SIRAD
2.KASMERI BIN ABDULLAH
Kepolisian Sektor Terusan Nunyai Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 30 Nov. 2017
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2017/PN Gns
Tanggal Surat Kamis, 30 Nov. 2017
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1ABDULLAH BIN SIRAD
2KASMERI BIN ABDULLAH
Termohon
NoNama
1Kepolisian Sektor Terusan Nunyai
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Kepada, Yth :    
Ketua Pengadilan Negeri Gunung Sugih    
Jl. Raya Lintas Sumatra, Panggungan,
Gunung Sugih, Gn. Sugih, Kabupaten Lampung Tengah,
Lampung. 34161.

Di
      tempat

Perihal: Permohonan pemeriksaan praperadilan tentang sah atau tidak sah nya Penetapan Tersangka,Penangkapan danPenahanan serta Ganti Kerugian dan Rehabilitasi terhadap sdr. abdullah dan sdr. kasmeri

Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini :

kami dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Cabang Lampung antara lain Zainudin Hasan,S.H.,M.H., Sultan,S.H., Bambang Wijanarko,S.H., Dodi Yanto,S.H., Suprayetno,S.H., dan Agus Pidarta,S.H., selaku Advokat dan Konsultan Hukum pada PAHAM Cabang Lampung yang beralamat di Jalan Harapan 1 No. 9 Samping Kelurahan Labuhan Ratu Bandar Lampung. Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 24 November 2017 (terlampir) bertindak selaku kuasa dari dan oleh karenanya untuk dan atas nama serta mewakili:

Nama        : Abdullah Bin Sirad
Umur        : 52 Tahun
Pekerjaan    : Tani / Buruh
Alamat    : dsn IV Gunung Mekar Kamp. Gunung Batin Udik Kec, Terusan Nunyai Kab, Lampung Tengah. Dan,

Nama    : Kasmeri Bin Abdullah
Umur     : 31 tahun
Pekerjaan    : Buruh Harian
Alamat    : dsn IV Gunung Mekar Kamp. Gunung Batin Udik Kec, Terusan Nunyai Kab, Lampung Tengah.
Untuk selanjutnya disebut sebagai PARA PEMOHON

Bersama ini mengajukan Permohonan Pemeriksaan Praperadilantentang sah atau tidak sah nya Penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan serta Ganti Kerugian dan Rehabilitasi terhadap Para Pemohon yang dilakukan oleh Kepolisian Negera Republik Indonesia C.q.  Kepolisian Daerah Lampung C.q. Kepolisian Resort Lampung Tengah C.q. Kepolisian Sektor Terusan Nunyai.
Untuk Selanjutnya Disebut Sebagai TERMOHON

 

 

I.    PENDAHULUAN
bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”.
Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
a.    Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
b.    Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
c.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015. Dan lain sebagainya.
Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
Adapun kronologi permasalahan yang perlu kami jelaskan, demi dipahaminya duduk perkara sesuai dengan fakta yang terjadi, sebagai berikut:
a.    Bahwa Para Pemohon merupakan warga desa dsn IV Gunung Mekar Kamp. Gunung Batin Udik Kec, Terusan Nunyai Kab, Lampung Tengah yang bekerja sebagai Petani dan Buruh Harian;
b.    Bahwa pada hari Sabtu, 18 November 2017, Pemohon (Bp. Abdullah) yang sedang melayani pelanggannya diwarung, didatangi oleh Sdri. Evi Yana yang merupakan Keponakannya;
c.    Bahwa Sdri. Epi Yana datang ke warung Pemohon (Bp. Abdullah) karena sedang mengalami permasalahan dengan suaminya (Sdr. Ari Albert), Sdri. Epi Yana meminta perlindungan karena beberapa hari ini keadaan rumah tangganya terus menerus mengalami pertikaian, dan terakhir suami Sdri. Epi Yana (Sdr. Ari Albert) memaksa Sdri. Epi Yana untuk memberi uang senilai Rp 1.200.000,- (satu juta dua ratus rupiah) dan marah-marah kepada sdri. Epi Yana hingga memukul sdri. Epi yana dan membakar baju baju milik Sdri. Epi Yana serta merobek kertas bantuan sosial dari pemerintah (PKA);
d.    Bahwa selang beberapa menit, Suami Sdri. Epi Yana (Sdr. Ari ALbert) mendatangi warung milik Pemohon (Bp. Abdullah) mencari Sdri. Epi Yana dan langsung marah-marah di lokasi tersebut;
e.    Melihat hal tersebut, Pemohon (Bp. Abdullah) sebagai pamannya berusaha menasihati Sdr. Ari Albert agar jika ada masalah diselesaikan baik baik dirumah;
f.    Namun, Sdr. Ari Albert yang sedang dalam keadaan marah dan tak terkendali, malah balik marah kepada Pemohon (Bp. Abdullah), dan Sdr. Ari Albert pun kembali kerumahnya mengambil pedang samurai miliknya dan beberapa saat kemudian kembali lagi ke warung Pemohon (Bp. Abdullah) kemudian langsung menantang Pemohon (Bp. Abdullah) dengan kata-kata : “Mari kita lanjutkan!” sambil menghunuskan samurai ke Pemohon (Bp. Abdulah), seketika itu Pemohon (Bp. Abdullah) berlari untuk menghindar sejauh 50 meter dari warungnya;
g.    Bahwa kemudian Sdr. Ari Albert yang saat itu juga mengajak adiknya Sdr. Andri (Alias Ajo) mengejar Pak Abdulah, Pak Abdulah kemudian terjatuh tersungkur;
h.    Bahwa kemudian saudara Ari Albert dan Andri langsung mengeroyok membabi buta, saudara Ari Albert menyabetkan samurai k tubuh pak Abdulah hingga mengenai pinggang,kaki, dan tangan pak Abdulah disabet ari dengan samurainya, kemudian saudara Andri memukuli pak abdulah dengan besi mengenai badan dan kepala pak Abdulah sehingga menyebabkan kepala pak Abdulah robek dan mengeluarkan banyak darah;
i.    Bahwa tidak lama kemudian datang saudara Kasmeri yg merupakan anak dari Pak Abdulah, Kasmeri datang dari bekeliling dagang mampir ke kantin pak Abdulah. Para sopir dan langganan kantin pak Abdulah berteriak kepada Kasmeri : “Kasmeri, bapak mumati di keroyok tu”;
j.    Bahwa saudara Kasmeri kemudian berlari melerai, akan tetapi justru Kasmeri di pukul di bahu dan kepala oleh saudara Andri dengan besi sehingga membuat kepala Kasmeri pecah;
k.    Bahwa saudara Ari Albert sedari tadi secara membabi buta membacok pak abdulah, Pak Abdulah yg telah berlumuran darah menangkis dan menangkap samurai tersangka,sehingga terlepas dari tangan Ari Albert sehingga posisi samurai telah berpindah ditangan pak Abdulah, sehingga untuk membela diri kemudian pak Abdulah gantian membacok Ari Albert;
l.    Bahwa atas kejadian tersebut, pada hari minggu tanggal 19 November 2017 saudari Epi Yana, saudara Abdullah dan saudara Kasmeri mendatangi Polsek Terusan Nunyai dengan tujuan untuk melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Namun, sesampainya disana laporan Para Pemohon belum bisa diterima dengan alasan yang tidak mendasar dari kepolisian tersebut, bahkan para pemohon belum menerima Surat Tanda Bukti Lapor (STBL);
m.    Bahwa ketika sdr. Abdullah dan Kasmeri hendak pulang kerumah, Termohon tidak mengijinkan pulang dengan alasan demi keamanan karena dikhawatirkan sesuatu hal buruk terjadi kepada Pemohon. Kemudian pemohon menginap selama  2 malam di Polsek Nunyai;
n.    Bahwa tanpa diduga oleh Pemohon, Termohon mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan dan surat perintah penahan atas dugaan tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan kepada Sdr. Ari Albert dan Sdr. Andri yang baru diterima oleh Sdr. Pemohon pada Senin, 20 November 2017 tanpa pernah dilakukan panggilan terhadap Pemohon terkait sebagai apa dalam perkara yang dituduhkan tersebut;
o.    Adapun terkait Laporan yang dibuat lebih dulu oleh Para Pemohon baru di buatkan TDL dan Laporan Tindak Pidananya setelah Para Pemohon didampingi oleh Penasihat Hukum, dan permohonan hasil visum pun belum di dapat diberikan oleh Termohon dengan alasan masih dalam proses. Namun, hal yang janggal justru Laporan dari pihak Sdr. Ari Albert lebih dulu diprosesTANPA BUKTI BUKTI YANG CUKUP dan TANPA PEMERIKSAAN sebagai saksi maupun tersangka, sehingga dengan cepat menetapkan Para Pemohon sebagai Tersangka.

II.    ALASAN dan DALIL PERMOHONAN PRAPERADILAN

A.    TIDAK SAHNYA PENETAPAN TERSANGKA OLEH TERMOHON
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

Bahwa Mahkamah Agung menegaskan kembali objek pra peradilan berupa penetapan tersangka dalam PERMA RI Nomor4 Tahun 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN dalam BAB II Pasal 2 ayat (1) dan (2), menjelaskan:
(1)    Obyek Praperadilan adalah :
a.    sah atau tidaknya penangkapan,  penahanan, penghentian penyidikan atau penghentianpenuntutan, penetapan tersangka, penyitaan danpenggeledahan;
b.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorangyang perkara pidananya dihentikan pada tingkatpenyidikan atau penuntutan.
(2)    Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat buktiyang sah dan tidak memasuki materi perkara;
Bahwa berdasarkan pada dua ketentuan tersebut di atas, Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka menjadi salah satu Objek Pra Peradilan selain dari yang sudah tercantum dalam Pasal 77 KUHAP;
Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 tersebut, Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP. Bahwa alat bukti yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP meliptui: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa;
Bahwa fakta sesuai dengan kronologi dalam huruf (o), menjelaskan bahwa ditetapkan Pemohon sebagai tersangka tidak didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah tersebut, bahkan Pemohon baru mengetahui dirinya ditetapkan sebagai tersangka ketika mendapat Surat Perintah Penangkapan dan Penahanan pada tanggal 20 November 2017, tanpa didahului pemanggilan sebagai saksi maupun tersangka dalam perkara yang dituduhkan pada diri Pemohon sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Adapun barang bukti berupa samurai yang dilakukan oleh Pemohon untuk menebas Sdr. Ari Albert yang dijadikan dasar menetapkan tersangka kepada Para Pemohon adalah milik Sdr. Albert sendiri, sehingga timbul pertanyaan bagaimana mungkin Para Pemohon yang menganiaya Sdr. Ari Albert dengan menggunakan Samurai, yang pada kenyataan Samurai tersebut milik Sdr. Albert??
Perlu diketahui Yang Mulia, bahwa yang dilakukan Para Pemohon adalah bentuk Pembelaan atas pengeroyokan yang dilakukan oleh Sdr. Albert dan Sdr. Andri;
Bahwa oleh karena penetapan tersangka yang dilakukan oleh Pemohon tanpa didasari pada minimal 2 (dua) alat bukti, maka Pemohon keberatan dengan penangkapan dan penahanan dirinya sebagai Tersangka dalam dugaan telah melakukan Tindak Pidana “Penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Jo. 351 ayat (2) KUHP” oleh Termohon kepada Pemohon. Maka Berdasar pada uraian diatas, tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

B.    TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN dan PENAHANAN OLEH TERMOHON (ERROR IN PROCEDURE)

1.    PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
Bahwa Mahkamah dalam Putusan   Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut, beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Sehingga “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
Bahwa Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai saksi maupun tersangka. Berdasarkan pada Surat Perintah Penangkapan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, melalui Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP. Kap/ 67/XI/2017/Reskrim tertanggal 19 November 2017, Klien kami yang masih berada di Kepolisian Sektor Terusan Nunyai langsung ditangkap dan langsung ditahan dengan Surat Perintah Penahanan Nomor: Sp.Han/45/XI/2017/Reskrim tertanggal 20 November 2017, karena sudah ditetapkan sebagai Tersangka dalam dugaan penganiayaan terhadap korban Sdr. Ari Albert dan Sdr. Andri, yang secara fakta mereka berdua sebenarnya merupakan pelaku penganiayaan dan pengeroyokan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kronologi pada huruf (h dan j);
Bahwa Surat Perintah Penangkapan dan Penahanan tersebut tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai saksi maupun tersangka, akan tetapi Pemohon langsung ditahan sebagai Tersangka oleh Termohon yang saat itu Para Pemohon sedang berada di Polsek Terusan Nunyai karena perintah dari Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Para Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Para Pemohon. Para Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 20 November 2017 tanpa didampingi oleh Penasihat Hukumnya.
Bahwa Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Para Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Polsek Terusan Nunyai.
Bahwa Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus menyatakan Tidak Sah terhadap penangkapan dan penahanan terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

2.    TERMOHON BELUM PERNAH ADA PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON
Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Para Pemohon maupun Termohon, bahwa  penahanan atas diri Para Pemohon baru diketahui oleh Para Pemohon berdasarkan Surat Penangkapan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Para Pemohon dengan Nomor: SP. Kap/ 67/XI/2017/Reskrim tertanggal 19 November 2017. Bahwa apabila mengacu kepada surat Penangkapan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan. Sebagaimana dikutip:

Pasal 1 angka 1 KUHAP:
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Pasal 1 angka 4 KUHAP:
“Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.”
Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”.Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau meminjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
Bahwa Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu Penangkapan dan Penahanan terhadap diri Pemohon harus dinyatakan Tidak SAH oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo.
C.    PERBUATAN PEMOHON TIDAK DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN SEBAGAI PERBUATAN TINDAK PIDANA KARENA ALASAN PEMAAF SEBAGAIMANA PASAL 49 KUHP.
Bahwa KUHAP mengatur terkait perbuatan seseorang tidak dapat dipidana karena perbuatan tersebut merupakan “pembelaan terpaksa” (Noodweer)untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat, yang dalam KUHAP dikenal dengan alasan pembenar dan alasan pemaaf. Sebagaima dijelaskan dalam Pasal 49 KUHP, yaitu:

(1)    Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2)    Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Bahwa Menurut pasal ini orang yang melakukan pembelaan terpaksa tidak dapat dihukum. Pasal ini mengatur alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar karena perbuatan pembelaan terpaksa bukan perbuatan melawan hukum;
BahwaR. Soesilo dalam Bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, cet. 1991, hal. 64-66”. Terkait Pasal 49 ayat (1) KUHP, R. Soesilo menjelaskan antara lain bahwa supaya orang dapat mengatakan dirinya dalam “pembelaaan terpaksa” dan tidak dapat dihukum harus dipenuhi tiga syarat:
1.    Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain;
2.    Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain;
3.    Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga;
Bahwa Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Dalam pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 59). Yaitu :Harus ada situasi pembelaan terpaksa, yang berarti suatu situasi dimana pembelaan raga, kehormatan kesusilaan, atau harta  benda terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi keharusan;
Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat, yang pada gilirannya disebabkan oleh serangan. “kegoncangan jiwa yang hebat” dapat mencakup berbagai jenis emosi, yaitu takut, marah, dan panik;
Bahwa perlu majelis hakim ketahui berdasarkan kronologi huruf (k) secara nyata bahwa Para Pemohon dalam keadaan yang terdesak dan terpaksa untuk melakukan pembelaan berupa perlawanan terhadap Sdr. Ari Albert dan Sdr. Andri. Pembelaan tersebut harus dilakukan oleh Para Pemohon karena mengancam jiwa atau nyawa dari pada Para Pemohon pada saat itu;
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama sebagamana dimaksud dalam Pasal 170 Jo. 351 aayat (2) KUHP, seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.
D.    BERKAITAN DENGAN PERMOHONAN GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bahwa dalam KUHAP BAB XII Tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Pasal 95 tentang ganti kerugian menjelaskan bahwa :
(1)    Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2)    Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagai dimaksud dalam aya (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77;
(3)    Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan;
(4)    Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan;
(5)    Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.

Dan Pasal 97 tentang rehabilitasi menjelaskan bahwa:
(1)    Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh Pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
(2)    Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
(3)    Permintaan rehablitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasanyang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagai dimaksud dalam pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam pasal 77.

Bahwa atas tindakan atau proses Penetapan Tersangka dan Penangkapan SERTA Penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PARA PEMOHON tidak sesuai prosedur yang ditentukan KUHAP, dan telah melakukan Penahanan terhadap diri PARA PEMOHON atas Penetapan Tersangka dan Penangkapan tersebut. PARA PEMOHON tidak bisa menjalani kehidupannya dengan layak seperti biasa, PARA PEMOHON tidak dapat bekerja untuk memenuhi nafkah baik lahir maupun batin kepada keluarga PARA PEMOHON, sehingga keadaan ekonomi keluarga dari PARA PEMOHON semakin memburuk karena PARA PEMOHON sebagai tulang punggung keluarga tidak dapat lagi memberikan nafkah seperti biasa;
Bahwa oleh karena PARA PEMOHON tidak dapat memberikan nafkah lahir dan batin selama prosen Penahanan akibat Penetapan Tersangka dan Penangkapan serta Penahanan yang tidak SAH tersebut yang membuat keadaan ekonomi keluarga PARA PEMOHON memburuk, untuk itu sesuai dengan Pasal 95 KUHAP PEMOHON berhak menuntut Ganti Kerugian baik secara materiil maupun immateriil kepada TERMOHON; yang dinilai sebesar RP. 250. 000.000,- (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah);

Bahwa akibat dari Penetapan Tersangka dan Penangkapan Serta Penahanan yang tidak SAH tersebut, berakibat pada kondisi Psikologis pada diri PARA PEMOHON dan juga keluarga PARA PEMOHON. PARA PEMOHON merasa harkat dan martabatnya sebagai warga negara yang baik telah HILANG dan membuatnya MALU untuk kembali bersosialisasi dengan warga setempat karena tekanan Psikologis tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 97 KUHAP, PARA PEMOHON berhak mendapatkan REHABILITASI dari PIHAK TERMOHON dengan cara memulihkan nama baik serta harkat dan martabatnya di muka umum melalui media masa koran yang ada di Provinsi Lampung yaitu: Lampung Post, Radar Lampung dan Tribun Lampung;

III.    KESIMPULAN

Majelis Hakim Yang Mulia
Sdr. Termohon Yang Kami Hormati
Sidang Yang Kami Muliakan

Bahwa salah satu prinsip dalam Hukum Acara Pidana adalah Asas Legalitas (Principle of Legality). Asas ini menyatakan bahwa setiap penangkapan, penahanan, hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang;

Bahwa berdasarkan prinsip hukum seperti diuraikan di atas maka setiap upaya paksa (Bijzondere Dwang Middelen) seperti penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan maupun pemeriksaan surat yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang harus berdasarkan perintah tertulis dan perintah tertulis tersebut harus sah dan tidak cacat hukum;

Bahwa tidak terpenuhinya syarat-syarat seperti diuraikan pada Dalil-Dalil kami di atas mengakibatkan Penetapan Tersangka dan upaya paksa penangkapan serta Penahanan yang dilakukan oleh Termohon kepada Para Pemohon menjadi TIDAK SAH;

Bahwa Penangkapan yang dilakukan TERMOHON terkesan sewenang-wenang. Bahwa Surat Perintah Penangkapan yang dimaksud baru diterima oleh keluarga PEMOHON beberapa hari kemudian. Oleh karena itu sekali lagi kami TEGASKAN kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo bahwa Penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON kepada Para PEMOHONadalahtidak sah dan melanggar hukum;

Bahwa tindakan TERMOHON dalam melakukan Penetapan Tersangka dan Penangkapan serta Penahanan kepada PARA PEMOHON tidak sesuai dengan motto TEKAB 308 yang mengatakan pertama tepat sasaran, kedua tepat tindakan, dan ketiga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan logika;

IV.    PERMOHONAN
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1.    Menyatakan diterima permohonan Para Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Para Pemohon sebagai tersangka dengan Tindak Pidana “Penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Jo. 351 ayat (2) KUHP” oleh Termohon (Kepolisian Sektor Terusan Nunyai) adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3.    Menyatakan tindakan Termohon yang melakukan Penangkapan dan Penahanan Tidak Sah dan Tidak Berdasarkan atas Hukum;
4.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Para Pemohon;
5.    Memerintahkan TERMOHON agar mengeluarkan PARA PEMOHON dari tahanan Polsek Terusan Nunyai;
6.    Menghukum TERMOHON untuk membayar ganti rugi kepada PARA PEMOHON sebesar Rp. 250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah);
7.    Memerintahkan TERMOHON agar melakukan rehabilitasi terhadap PARA PEMOHON sesuai dengan KUHAP;
8.    Memulihkan hak Para Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
9.    Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam persidangan ini.
PARA PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Bandar Lampung, 30 November 2017
Hormat kami
PENASEHAT HUKUM


ZAINUDIN HASAN, S.H.,M.H.,                SULTAN, S.H


BAMBANG WIJANARKO, S.H                DODIYANTO, S.H


SUPRAYETNO, S.H                        AGUS PIDARTA, S.H

 

Pihak Dipublikasikan Ya