Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GUNUNG SUGIH
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2019/PN Gns MISBAH ZAENAL Bin ZAENAL Pemerintah Negara Republik Indonesia Cq Kanit Reskrimum Padang Ratu Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 16 Jan. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2019/PN Gns
Tanggal Surat Rabu, 16 Jan. 2019
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2019/PN Gns
Pemohon
NoNama
1MISBAH ZAENAL Bin ZAENAL
Termohon
NoNama
1Pemerintah Negara Republik Indonesia Cq Kanit Reskrimum Padang Ratu
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

ANALISA YURIDIS
-    PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
-   Pemohon Tidak Pernah Diperiksa Sebagai Calon Tersangka
1)    Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
2)    Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
3)    “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
4)    Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
5)    Bahwa sebagaimana diketahui PEMOHON tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas PEMOHON sebagai calon tersangka. Berdasar pada PANGGILAN untuk pertama kali dan satu-satunya oleh TERMOHON, yakni melalui VIA TELEPHONE sebagai TERLAPOR oleh TERMOHON kepada PEMOHON berdasarkan Laporan ke Polsek Padang Ratu Nomor:LP.No.Pol.LP/117-B/VI/2017/PATU, tanggal 06 Juni 2017 dan Laporan ke Polres Lampung Tengah Nomor:LP/1283-B/XI/2018/Polres Lamteng, tanggal 02 November 2018, tidak pernah membuktikan PEMOHON diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai TERSANGKA oleh TERMOHON, sehingga tidak dengan seimbang PEMOHON dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada PEMOHON. PEMOHON hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni berdasarkan Surat Perintah Penangkapan PEMOHON Selaku Tersangka, No.Pol:SP.Kap 146/XI/2018/Reskrim, tertanggal 15 November 2018, yang ditandatangani oleh Kepala Kepolisian Sektor Padang Ratu, Selaku Penyidik, Indra Herliantho, SE, MH,.
6)    Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kanit Reserse Umum Polsek Padang Ratu.

Dengan demikian jelas tindakan TERMOHON dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri PEMOHON oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.

-    Tidak Pernah Ada Penyelidikan Atas Diri Pemohon
1)    Bahwa sebagaimana diakui baik oleh PEMOHON maupun TERMOHON, bahwa penetapan tersangka atas diri PEMOHON baru diketahui oleh PEMOHON berdasarkan Surat Perintah Penangkapan PEMOHON Selaku Tersangka, No.Pol:SP.Kap146/XI/2018/Reskrim, tertanggal 15 November 2018, yang ditandatangani oleh Kepala Kepolisian Sektor Padang Ratu, Selaku Penyidik, Indra Herliantho, SE, MH,. Bahwa apabila mengacu kepada surat perintah penangkapan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
2)    Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
3)    Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
4)    Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
 
-    Pemohon Ditetapkan Sebagai Tersangka, Akan Tetapi Belum Dilakukan Penyelidikan
1)    Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penangkapan PEMOHON Selaku Tersangka, No.Pol:SP.Kap146/XI/2018/Reskrim, tertanggal 15 November 2018, yang ditandatangani oleh Kepala Kepolisian Sektor Padang Ratu, Selaku Penyidik, Indra Herliantho, SE, MH,.padahal jika mengacu pada Laporan ke Polsek Padang Ratu Nomor:LP.No.Pol.LP/117-B/VI/2017/PATU, tanggal 06 Juni 2017 baru dimintai keterangan dan pemanggilannya pun hanya VIA TELEPHONE oleh Oknum Penyidik Polsek Padang Ratu dan Laporan ke Polres Lampung Tengah Nomor:LP/1283-B/XI/2018/Polres Lamteng, tanggal 02 November 2018, tidak pernah membuktikan PEMOHON diperiksa sebagai calon tersangka, bahkan Surat Panggilan Resmi dari Kepolisian baik dari Kepala Kepolisian Resor Lampung Tengah dan atau Kepala Kepolisian Sektor Padang Ratu TIDAK PERNAH ADA. Bahwa setelah dilakukan penangkapan atas diri PEMOHON oleh Oknum Anggota Polsek Padang Ratu baru dilakukan pemeriksaan, akan tetapi tidak ditandatangani oleh PEMOHON;
2)    Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.
3)    Bahwa hal tindakan Termohon telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b yang pada intinya menyatakan dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Sehinga dengan demikian apabila telah dinyatakan (P-21). Penyidik tidak dapat lagi melakukan pemeriksaan guna kepentingan penyidikan.

Bahwa berdasar pada uraian diatas, penyidik baru sebatas mengambil keterangan dan pemanggilalnya pun dilakukan VIA TLEPHONE, maka panggilan tersebut merupakan panggilan yang tidak sah dikarenakan Penyidik tidak melalui Standar Operasional Prosedur. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.
 
-    Termohon Tidak Cukup Bukti Dalam Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka
1)    Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Penyidik Polsek Padang Ratu kepada Pemohon hanya berdasar pada Laporan ke Polsek Padang Ratu Nomor:LP.No.Pol.LP/117-B/VI/2017/PATU, tanggal 06 Juni 2017 baru dimintai keterangan dan pemanggilannya pun hanya VIA TELEPHONE;
2)    Bahwa sebagaimana laporan polisi Nomor:LP.No.Pol.LP/117-B/VI/2017/PATU, tanggal 06 Juni 2017, dimana penyidik telah melakukan koordinasi dengan pihak kejaksaan, akan tetapi tidak dianggap cukup unsur untuk dilakukan penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 372 dan 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
3)    Bahwa berdasarkan pada point 2) diatas, penyidik mengadakan mediasi antara Pelapor dan Pemohon dan mendapatkan kesepakatan untuk berdamai dan melakukan pembayaran hutang piutang uang sebesar Rp.70.000.000,-(tujuh puluh juta rupiah);
4)    Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
5)    Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Penyidik Polsek Padang Ratu kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon selalu mendasarkan pada alat bukti yang sebelumnya telah dinyatakan tidak cukup oleh jaksa Kejaksaan Negeri Lampung Tengah.

Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
 
-   PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN
1)    Bahwa kesepakatan timbul antara Warimin, Woko dengan Pemohon adalah hubungan Pinjam Uang dan Garap Lahan (guna menanam semangka musiman). Terhadap kesepakatan lisan via telpon tersebut telah memunculkan perikatan antar kedua belah pihak yang bersifat pos factum, yaitu fakta terjadi setelah peristiwa yang dilaporkan oleh pelapor. Untuk itu hubungan hukum antara kedua belah pihak merupakan hubungan hukum yang bersifat keperdataan;
2)    Bahwa terdapat perbedaan antara Wanprestasi dan Penipuan. Wanprestasi dapat berupa: (i) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (ii) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (iii) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata. Sedangkan penipuan masuk ke dalam bidang hukum pidana (delik pidana) (ps. 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan penipuan apabila ia dengan melawan hak bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain. “Melawan hak” di sini bisa dicontohkan memakai nama palsu, perkataan-perkataan bohong, dll.;
3)    Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon, antara pemohon dengan pelapor diikat melalui perjanjian yang sama-sama beritikat baik untuk memenuhi perjanjian, tidak ada maksud melakukan penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sehinga dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan dugaan Penipuan dan  Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hubungan hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan;
4)    Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Penipuan dan  Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti h alnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.
 
-    PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
1)    Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah  menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
2)    Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati;
3)    Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’;
4)    Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5)    Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
-    ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
-    dibuat sesuai prosedur; dan
-    substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
6)    Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
-   “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
-    Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

-    PENANGKAPAN PEMOHON TIDAK MELALUI PROSEDUR
Bahwa tindakan Penangkapan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON ternyata telah dilakukan tanpa memperlihatkan Surat Tugas pada saat itu, dan hanya memberikan Surat Perintah Penangkapan dan/atau serta tembusan Surat Perintah Penangkapan yang ditandatangani oleh PEMOHON didalam mobil milik oknum anggota polisi, lalu diberikan kepada Keluarga PEMOHON, karena itu tindakan TERMOHON tersebut telah melanggar Ketentuan :
1.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 18 ayat (1) KUHAP :
Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan yang me ncantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

2.    Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 12 Tahun 2009)
Pasal 70 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Setiap tindakan penangkapan wajib dilengkapi Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan yang sah dan dikeluarkan oleh atasan penyidik yang berwenang.
Pasal 72 Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a.    Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar;
b.    Tersangka diperkirakan akan melarikan diri;
c.    Tersangka diperkirakan akan mengulangi perbuatannya;
d.    Tersangka diperkirakan akan menghilangkan barang bukti;
e.    Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan.
Pasal 75 huruf a Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib : a. Memahami peraturan perundang-undangan, terutama mengenai kewenangan dan tata cara untuk melakukan penangkapan serta batasan-batasan kewenangan tersebut.
Pasal 75 huruf c Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib : c. Menerapkan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi untuk tindakan persiapan, pelaksanaan dan tindakan sesudah penangkapan.

Bahwa Penangkapan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON ternyata telah disertai dengan tindakan TERMOHON yang membawa senjata api laras panjang dan memborgol PEMOHON, karena itu tindakan TERMOHON tersebut telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan :

3.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Konsiderans KUHAP huruf a :
“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Konsiderans KUHAP huruf c :
“Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang Hukum Acara Pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”

4.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 :
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28 G :
(1)    Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2)    Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

5.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi mAnusia:
Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Pasal 5 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :
Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum
Pasal 18 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :
Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.    Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 12 Tahun 2009)

Pasal 75 huruf d Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib bersikap profesional dalam menerapkan taktis penangkapan, sehingga bertindak manusiawi, menyangkut waktu yang tepat dalam melakukan penangkapan, cara-cara penangkapan terkait dengan kategori-kategori yang ditangkap seperti anak-anak, orang dewasa dan orang tua atau golongan laki-laki dan perempuan serta kaum rentan.
Pasal 76 ayat (1) huruf b Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan penangkapan, petugas wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : b. Senantiasa menghargai/menghormati hak-hak tersangka yang ditangkap…

 

Pasal 76 ayat (1) huruf c Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Dalam hal melaksanakan penangkapan, petugas wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : c. Tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi tersangka.
Pasal 76 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009 :
Tersangka yang telah tertangkap, tetap diperlakukan sebagai orang belum tentu bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan.

-    PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN TIDAK DISERTAI DENGAN SURAT IZIN PENGGELEDAHAN DAN ATAU BERITA ACARA PENYITAAN
Bahwa tindakan Penggeledahan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON ternyata telah dilakukan tanpa memperlihatkan dan tidak memberikan Surat Perintah Penggeledahan, karena itu tindakan TERMOHON tersebut telah melanggar ketentuan
1.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 32 KUHAP :
Untuk Kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 33 KUHAP :
(1)    Dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.
(2)    Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3)    Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.
(4)    Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5)    Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
Pasal 36 KUHAP :
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.

Bahwa tindakan penyitaan yang dilakukan TERMOHON terhadap barang 1 (satu) unit kendaraan roda 4 (empat) milik PEMOHON, tetapi tidak langsung dibawa ke Polsek Padang Ratu selainkan setelah beberapa hari, karena itu tindakan TERMOHON tersebut telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 34 ayat (2) KUHAP :
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 75 ayat (1) huruf f KUHAP :
Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang Penyitaan Benda;
Pasal 75 ayat (3) huruf f KUHAP :
Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut ayat (1).

Bahwa karena TERMOHON tidak melaksanakan prosedur-prosedur sesuai dengan Ketentuan Perundang-Undangan, maka tindakan TERMOHON menunjukkan ketidakpatuhan akan hukum, padahal TERMOHON sebagai aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia in casu dalam kualitas sebagai PENYIDIK seharusnya memberikan contoh kepada warga masyarakat, dalam hal ini PEMOHON dalam hal pelaksanaan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) KUHAP sebagai berikut :
2.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 7 ayat (3) KUHAP :
Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

3.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 19 ayat (1)
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Bahwa dalam perkembangannya PRAPERADILAN telah menjadi fungsi kontrol Pengadilan terhadap jalannya Peradilan sejak tahap penyelidikan khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan penangkapan, sehingga oleh karenanya tindakan tersebut patut dikontrol oleh Pengadilan dengan menyatakan bahwa Penangkapan oleh TERMOHON kepada PEMOHON adalah TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN KUHAP. Dengan demikian, jika seandainya menolak GUGATAN PRAPERADILAN a-quo, penolakan itu sama saja dengan MELEGITIMASI PENANGKAPAN YANG TIDAK SAH YANG DILAKUKAN TERMOHON KEPADA PEMOHON DAN MELEGITIMASI PELANGGARAN HAK ASASI YANG DILAKUKAN TERMOHON KEPADA PEMOHON;

-    SYARAT-SYARAT PENAHANAN
Syarat penahanan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.”

Syarat penahanan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP di atas dikenal dengan syarat penahanan subjektif artinya terdakwa bisa ditahan apabila penyidik menilai atau khawatir tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.

Dengan kata lain jika penyidik menilai tersangka/terdakwa tidak akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana maka si tersangka/terdakwa tidak perlu ditahan.

Sementara Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyatakan, “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a.    tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b.    tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).”

Pasal 21 ayat (4) KUHAP ini dikenal dengan syarat penahanan objektif. Artinya ada ukuran jelas yang diatur dalam undang-undang agar tersangka atau terdakwa itu bisa ditahan misalnya tindak pidana yang diduga dilakukan tersangka/terdakwa diancam pidana penjara lima tahun atau lebih, atau tersangka/terdakwa ini melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal-Pasal sebagaimana diatur dalam huruf b di atas.

Berdasarkan uraian di atas, bisa dipahami bahwa yang namanya tersangka/terdakwa tidak wajib ditahan. Penahanan dilakukan jika memenuhi syarat penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP (syarat objektif) dan memenuhi keadaan-keadaan sebagaimana dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP (syarat subjektif).


-  PROSEDUR WAJIB LAPOR
Perlu diketahui bahwa penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi :
 
“Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.”
 
Untuk memahami soal wajib lapor, maka kita perlu untuk melihat penjelasan Pasal 31 KUHAP yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “syarat yang ditentukan” ialah wajib lapor/tidak keluar rumah atau kota. Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk masa status tahanan.
 
Menjawab pertanyaan pokok Anda tentang jangka waktu pelaksanaan wajib lapor, maka saya akan mengutip pendapat M. Yahya Harahap S.H. dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan”, hal 213, hal mana dikatakan bahwa dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang berjalan.

Dengan kata lain, dalam penangguhan, suatu penahanan masih sah dan resmi serta masih berada dalam batas waktu penahanan yang dibenarkan undang-undang. Namun, pelaksanaan penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan yang harus dipenuhi oleh tahanan atau orang lain yang bertindak menjamin penangguhan. Tentunya penangguhan ini akan diikuti dengan keharusan wajib lapor oleh tersangka selama dalam masa penahanan pada suatu instansi tersebut berlangsung.

Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud di atas, baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung, diatur dalamPasal 24 KUHAP sampai dengan Pasal 29 KUHAP, dengan perincian sebagai berikut:
1.    Pada tingkat penyidikan diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, jangka waktu penahanan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 40 hari.
2.    Pada tingkat penuntutan diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, jangka waktu penahanan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 hari.
3.    Pada tingkat Pemeriksaan Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, jangka waktu penahanan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan Negeri paling lama 60 hari.
4.    Pada tingkat Pemeriksaan Pengadilan Tinggi diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, jangka waktu penahanan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi paling lama 60 hari.
5.    Pada Tingkat Pemeriksaan Pengadilan Kasasi, diatur dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, di mana jangka waktu penahanan paling lama 50 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 60 hari.

Di samping itu, dalam Pasal 29 KUHAP juga diatur mengenai ketentuan mengenai pengecualian jangka waktu penahanan, hal mana dimungkinkannya perpanjangan penahanan dengan waktu maksimal 60 hari di setiap tingkatan, yaitu dalam hal tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih.
 
Masih menurut pendapat Yahya Harahap, kewenangan menangguhkan penahanan dengan sendirinya tanggal (lepas) apabila tahanan sudah beralih menjadi tanggung jawab yuridis ke instansi yang lain. Penyidik hanya berwenang menangguhkan penahanan, selama tahanan berada dalam tanggung jawab yuridisnya. Jika tanggung jawab yuridis atas penahanan sudah beralih ke tangan penuntut umum, tanggal kewenangan penyidik, terhitung sejak saat terjadi peralihan penahanan kepada instansi penuntut umum, dan seterusnya.


III.    PERMNTAAN GANTI KERUGIAN DAN/ATAU REHABILITASI

-    Bahwa tindakan PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENYITAAN YANG TIDAK SAH SECARA HUKUM oleh TERMOHON terhadap PEMOHON telah mengakibatkan kerugian bagi PEMOHON;

-    Bahwa mengingat PEMOHON adalah PETANI/PEKEBUN, dimana sumber penghasilan untuk kehidupan sehari-hari bergantung pada penghasilan atau hasil kebun (menderes kebun karet) dan hasil musiman tanaman (jagung dan singkong) yang dikelola oleh PEMOHON, maka SANGAT WAJAR dan BERALASAN untuk diberikan kompensasi dan/atau ganti rugi bagi PEMOHON ditambah lagi harus mengeluarkan uang sebagai berukit:
-    Membayar hutang sebesar Rp.70.000.000+Rp.10.000.000= Rp.80.000.000,- (Delapan puluh juta rupiah);
-    Membayar uang cabut perkara sebesar Rp.13.000.000,- (tiga belas juta rupiah);
-    Membayar jasa pengacara sebesar Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah);
-    Trasnportasi dan akomodasi selama ditahan sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah);-
-    Biaya service mobil Pemohon sebesar Rp.2.106.700.- (dua juta seratus enam ribu tujuh ratus rupiah).

Total biaya yang dikeluarkan diluar hutang oleh pemohon adalah sebesar Rp.55.106.700.- (lima puluh lima juta seratus enam ribu tujuh ratus rupiah).

-    Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengatur, sebagai berikut :
Pasal 9 ayat (1) :
Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf (b) dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 9 ayat (2) :
Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah).

Merujuk pada pasal tersebut di atas dimana fakta membuktikan bahwa akibat penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP, maka nilai kerugian yang seharusnya dibayarkan kepada PEMOHON adalah sebesar Rp.55.106.700.- (lima puluh lima juta seratus enam ribu tujuh ratus rupiah);

-   Bahwa disamping kerugian Materiil, PEMOHON juga menderita kerugian Immateriil, berupa :
a.    Bahwa akibat penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah oleh TERMOHON, menyebabkan tercemarnya nama baik PEMOHON, hilangnya kebebasan, menimbulkan dampak psikologis terhadap PEMOHON dan keluarga PEMOHON, dan telah menimbulkan kerugian immateril yang tidak dapat dinilai dengan uang, sehingga di batasi dengan jumlah 9 (Sembilan) hari penahanan dikali Jumlah sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) perhari dengan jumlah sebesar Rp.45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah);

b.    Bahwa kerugian Immateriil tersebut di atas selain dapat dinilai dalam bentuk uang, juga adalah wajar dan sebanding dalam penggantian kerugian Immateriil ini dikompensasikan dalam bentuk TERMOHON meminta Maaf secara terbuka pada PEMOHON lewat Media Massa di Radar Lampung selama 2 (dua) hari berturut-turut.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mohon Ketua Pengadilan Negeri Gunung Sugih agar segera mengadakan Sidang Praperadilan terhadap TERMOHON tersebut sesuai dengan hak-hak PEMOHON sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 serta Pasal 95 KUHAP, dan mohon kepada Yth. Ketua Pengadilan Negeri Gunung Sugih Cq. Hakim Yang Memeriksa Permohonan ini berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut :

1.    Menerima dan mengabulkan Permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan tindakan penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan atas barang dan diri PEMOHON adalah Tidak Sah Secara Hukum karena melanggar ketentuan perundang-undangan;
3.    Memerintahkan kepada TERMOHON agar segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan PEMOHON atas nama Misbah Zaenal Bin Zaenal;
4.    Menghukum TERMOHON untuk membayar ganti Kerugian Materiil sebesar Rp.55.106.700.- (lima puluh lima juta seratus enam ribu tujuh ratus rupiah) dan Kerugian Immateriil sebesar Rp.45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah), sehingga total kerugian seluruhnya sebesar Rp.100.106.700,-(seratus juta seratus enam ribu tujuh ratus rupiah) secara tunai dan sekaligus kepada PEMOHON;
5.    Menghukum TERMOHON untuk meminta Maaf secara terbuka kepada PEMOHON lewat Media Massa di Radar Lampung selama 2 (dua) hari berturut-turut;
6.    Memulihkan hak-hak PEMOHON, baik dalam kedudukan, kemampuan harkat serta martabatnya.

ATAU,

Jika Ketua Cq. Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa perkara a quo berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya