Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GUNUNG SUGIH
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2023/PN Gns HIDAYAH TRI ASTUTI Kepolisian Resor lampung tengah Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 06 Sep. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2023/PN Gns
Tanggal Surat Selasa, 05 Sep. 2023
Nomor Surat 408/P-TOSA/IX/2023
Pemohon
NoNama
1HIDAYAH TRI ASTUTI
Termohon
NoNama
1Kepolisian Resor lampung tengah
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Lampung Tengah, 05 September 2023

Nomor        : 408/P-TOSA/IX/ 2023
Lampiran    :  1 (satu) eks Surat Kuasa Khusus
Perihal        : Permohonan Praperadilan

Kepada Yth :
KETUA PENGADILAN NEGERI GUNUNG SUGIH
Di_
    Tempat

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Tua Alpaolo Harahap, S.H., M.H; Arief Munandar, S.H., M.H; Ridho Kurniawan, S.H.I; Dicky Julian Saputra, S.H; A. Hafiez Kahfie Sandjaya, S.H; adalah Para Advokat dan Penasehat Hukum pada Law Firm “TOSA & PARTNERS” beralamat di Komplek Riscon Bussiness Centre No. 5, Jalan Proklamator Raya Kelurahan Yukum Jaya, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 402/SKK/TOSA/IX/2023 tanggal 04 September 2023 (Terlampir), baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, Sebagai kuasa hukum bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa:

Hidayah Tri Astuti, Lahir di Purwoadi tanggal NIK 18020560029200001 Lahir di Purwoadi tanggal 20 Februari 1992, Jenis kelamin Perempuan, Kewarganegaraan Indonesia, Agama Islam, pekerjaan Pelajar/Mahasiswa Alamat Dusun II RT 005 RW 003 Kelurahan/Desa Purwoadi, Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung. Yang dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasanya. Selanjutnya disebut sebagai===================================================“Pemohon”;

Pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan atas penetapan Pemohon sebagai tersangka terkait  dugaan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUH Pidana Jo Penggelapan sebagaimana Pasal 372 KUH Pidana sesuai Laporan Polisi Nomor: LP/ B/ 200/ V/ 2023 / SPKT/ Polda Lampung, tanggal 16 Mei 2023 dan berdasarkan surat perintah penyidikan nomor: Sp. Sidik/123/VIII/2023/Reskrim, tanggal 02 Agustus 2023 Jo. Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/171/VIII/2023/Reskrim, tentang Penetapan Tersangka, tanggal 25 Agustus 2023;
M E L A W A N
Kepolisian Resor Lampung Tengah yang berkedudukan hukum di Jl. Negara No. 1 GunungSugih 34161 Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung. Selanjutnya disebut ======================“Termohon”;
Adapun yang menjadi dasar hukum dan alasan dari diajukannya Permohonan Praperadilan ini adalah sebagai berikut:

A.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

1.    Bahwa Kesungguhan pranata Prapradilan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XI Bagian Kesatu KUHAP merupakan sarana untuk mengawasi secara horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum in casu Polres Lampung Tengah. Dalam hal Kewenangan yang dilaksanakan secara berlebihan dan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, maka pengujian atas keabsahan penggunaan dari kewenangan tersebut dilakukan melalui Pranata Praperadilan, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara in casu Pemohon;
2.    Bahwa untuk menguji keabsahan penetapan status tersangka in casu Pemohon adalah untuk menguji tindakan-tindakan penyidik itu apakah bersesuaian dengan norma/ketentuan dasar mengenai penyidikan yang termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status tersangka adalah “KUNCI UTAMA” dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Termohon, berupa upaya paksa, baik berupa pencegahan, penggeledahan, penyitaan, penagkapan maupun penahanan. Dengan kata lain, adanya status tersangka itu menjadi dasar hukum bagi aparat penegak hukum in casu Termohon untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Artinya, seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan atau dilakukan pencegahan maupun penyitaan tanpa adanya keadaan menyangkut status seseorang itu telah ditetapkan sebagai tersangka;
3.    Bahwa pengujian keabsahan penetapan tersangka melalui pranata Praperadilan, karena penetapan sebagai tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukannya upaya paksa terhadap seorang warga negara yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga pranata hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah objek Praperadilan;
4.    Bahwa dalam praktek peradilan, hakim telah membuat putusan terkait penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, antara lain:
I)    Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 04/Pid/Prap/2014/PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, dengan amar putusan, antara lain: ”menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah”;
“ Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon”;
II)    Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 36/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 26 Mei 2015, dengan amar putusan, antara lain, “Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP adalah tidak sah oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan oleh karena itu diperintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SprinDIK-17/01/04/2014 tanggal 21April 2014; “Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SprinDIK-17/01/04/2014  adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Penetapan Tersangka  a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”;
III)    Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 67/PID.PRAP/2015/PN.Jkt.Sel yang memaknai sama “Menyatakan mengabulkan Permohonan Pemohon menyatakan Tidak sah menurut Hukum Tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka”;
IV)    Pra Peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor : 09/Pid/Pra/2015/Pn.Jkt.Brt Tanggal 18 November 2015 yang memaknai “Menyatakan Surat Perintah Penyidikan : Sprindik/418/IV/2013, tanggal 1 April 2013 yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka oleh Termohon terkait peristiwa Pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan adalah TIDAK SAH dan Tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat dan Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Penetapan tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud pada Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan adalah TIDAK SAH dan Tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat”;
5.    Bahwa sarana Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai wadah untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah atau tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan atau penahanan sebagaimana yang dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015;
6.    Bahwa dengan memperhatikan praktek peradilan melalui putusan Praperadilan atas penetapan tersangka tersebut di atas serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, yang berbunyi, “ Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan”;

Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka merupakan tindakan atas ditetapkannya status tersangka kepada seseorang sampai memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata Praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar dan sejalan dengan hal tersebut atas penetapan tersangka terhadap seseorang yang telah dilakukan oleh penegak hukum telah merampas kemerdekaan seseorang tersebut yang ditahan apabila seseorang tersebut tidak bersalah mengakibatkan waktu yang telah dibuang selama ditahan tidak bisa digantikan;

Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang diadili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum (PUTUSAN MK hal 105-106), maka cukup alasan hukumnya bagi Pemohon untuk menguji keabsahan penetapan Pemohon sebagai tersangka melalui Praperadilan;
7.    Bahwa merujuk Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh Tersangka, Keluarga atau Kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”;
8.    Bahwa merujuk amar Putusan Mahkmah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang berbunyi antara lain:
“Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan”;

“Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan”;

Maka menjadi jelas dan teranglah bahwa penetapan tersangka menurut hukum adalah merupakan Objek Praperadilan;

9.    Bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Termohon berdasarkan surat perintah penyidikan nomor: Sp. Sidik / 123 / VIII / 2023 / Reskrim, tanggal 02 Agustus 2023 Jo. Surat Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap / 171 / VIII / 2023 / Reskrim, tanggal 25 Agustus 2023 di dalam Surat Panggilan Nomor: S. Pgl / 361 / VIII / 2023 / Reskrim, tanggal 25 Agustus 2023 dan Surat Panggilan Ke II Nomor: S.Pgl / 369 / VIII / 2023 / Reskrim, tanggal 31 Agustus 2023, dan telah dilakukan penagkapan beradasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp. Kap/135/IX/2023/Reskrim, tanggal 04 September 2023 serta penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP. Han/121/IX/2023/Reskrim, tanggal 04 September 2023 kepada Pemohon terkait dugaan Penipuan Jo Penggelapan sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUH Pidana Jo. 372 KUH Pidana;
10.    Bahwa mendasari substansi pada poin 9 diatas maka Pemohon menjelaskan sebagai berikut:
a.    Tindakan lain dalam hal ini menyangkut pelaksanaan wewenang penyidik in casu Termohon diantaranya berupa menetapkan seseorang menjadi tersangka di ikuti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan lain sebagainya;
b.    Penetapan Pemohon sebagai tersangka in casu Hidayah Tri Astuti, khususnya dalam perkara tindak pidana Penipuan dan Penggelapan, lebih khusus lagi yang prosesnya dijalankan oleh Kepolisian Resor Lampung Tengah in casu Termohon, telah menimbulkan akibat hukum berupa terampasnya hak maupun harkat martabat Pemohon in casu Hidayah Tri Astuti;
c.    Bahwa dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka dan dilakukan penahanan in casu Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, maka nama baik dan kebebasan seseorang in casu Pemohon telah dirampas;
d.    Bahwa tindakan Termohon yang cacat yuridis sebagaimana yang dimaksud huruf b diatas dibuktikan dengan perkara a quo yang diawali dengan tindakan yuridis berupa  Laporan Kejadian Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan Nomor: LP / B / 200 / V /  2023 / SPKT / POLDA LAMPUNG, tanggal 16 Mei 2023 dan kemudian diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp. Sidik / 123 / VIII / 2023 / Reskrim,  tanggal 02 Agustus 2023, kemudian melalui Surat Nomor: SPDP/ 120 / VIII / 2023 / Reskrim, tanggal 02 agustus 2023, perihal pemberitahuan telah dimulainya penyidikan di ikuti dengan Surat panggilan Nomor: S.Pgl / 339 / VIII / 2023 / Reskrim, tanggal 03 Agustus 2023, yang diterima pada tanggal 04 Agustus 2023 dan pada hari selasa tanggal 08 agustus 2023, sekira pukul 13.00 WIB dilakukan pemeriksaan kepada Pemohon sebagai saksi oleh Termohon dalam tingkat penyidikan, dan telah menjelaskan sekaligus memberikan bukti surat berupa asli rekening Koran dari Bank Rakyat Indonesia, Tbk yang mana pada pokoknya membuktikan bahwa Pemohon pernah melakukan transfer uang pada tanggal 26 september 2021 sejumlah Rp. 16.800.000,- (enam belas juta rupiah) dan tanggal 31 agustus 2021 uang sejumlah Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), selain itu, untuk menyelesaikan permasalahan hutang piutang ini dengan Pelapor in casu saudari Tri Rustiani, Pemohon juga telah menyerahkan 1 (satu) buah Sertipikat Hak Milik Nomor: 325, tanah sawah seluas ± 3780 m2 (tiga ribu tujuh ratus delapan puluh meter persegi) sebagai jaminan yang diterima oleh Tri Rustiani bersama suaminya bernama Subeki sesuai dengan tanda terima surat penitipan sertipikat No. 325, tanggal 9 April 2022, sehingga sangat mengherankan, terhadap perkara a quo dapat dinaikkan statusnya dari penyelidikan ketahap penyidikan dan dilanjutkan dengan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan sekarang telah dilakukan penahanan padahal Termohon belum pernah melakukan mediasi maupun konfrontir terhadap saksi-saksi, baik antar Pelapor dan Terlapor in casu Pemohon sebab dikhawatirkan ada keterangan yang tidak benar yang diberikan oleh Pelapor in casu Tri Rustiani yang menyebabkan hasil analisa perkaranya akan berbeda;

Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, sangatlah beralasan dan cukup alasan hukumnya bagi Pemohon untuk mengajukan Permohonan Praperadilan kehadapan Hakim, sebab yang dimohonkan oleh Pemohon untuk diuji oleh Pengadilan adalah berubahnya status Pemohon dari saksi menjadi tersangka, dilanggarnya hak asasi Pemohon akibat tindakan Termohon yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang ditentukan oleh Hukum Acara Pidana dalam hal ini KUHAP. Oleh karenanya,  Permohonan Pemohon untuk menguji keabsahan penetapan Pemohon sebagai TERSANGKA oleh Termohon melalui Praperadilan adalah sah menurut hukum dan haruslah diterima;

B.    ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa fakta-fakta hukum yang terjadi dalam permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon sebagai berikut :

PENETAPAN TERSANGKA PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA OLEH TERMOHON SANGAT PREMATUR TANPA DI DASARI 2 (DUA) ALAT BUKTI YANG SAH

1.    Bahwa perkara a quo dimulai dengan adanya Laporan Polisi Nomor: LP/ B/ 200/ V/ 2023 / SPKT/ Polda Lampung, tanggal 16 Mei 2023, selanjutnya berdasarkan itu Pemohon diminta memberikan klarifikasi berdasarkan surat nomor: B / 1105 / VI / 2023 / Reskrim, tanggal 09 Juni 2023, dilanjutkan dengan Pemohon memberikan klarifikasi tambahan berdasarkan surat nomor: B / 1466 / VII / 2023 / Reskrim, tanggal 21 Juli 2023;
2.    Bahwa Tanggal 04 agustus 2023, Pemohon menerima surat Nomor : SPDP / 120 / VIII / 2023 / Reskrim, tanggal 02 Agustus 2023 perihal Pemberitahuan dimulainya Penyidikan dan yang mana di dasari Surat Perintah Penyidikan Nomor Sp.Sidik / 123 / VIII / 2023 / Reskrim, tanggal 02 Agustus 2023 serta Surat Nomor: S. Pgl / 339 / VIII / 2023 / Reskrim, tanggal 03 Agustus 2023, perihal panggilan untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam tahap penyidikan pada tanggal 08 agustus 2023;
3.    Bahwa selanjutnya Pemohon menerima kembali surat panggilan sebagai Tersangka dengan dasar Surat Panggilan Nomor: S. Pgl/361/VIII/2023/Reskrim, tanggal 25 Agustus 2023 dan Surat Panggilan Ke II Nomor: S.Pgl/369/VIII/2023/Reskrim, tanggal 31 Agustus 2023 untuk menghadiri pada tanggal 04 September 2023, selanjutnya terhadap Pemohon dilakukan penangkapan berdasarkan Surat Perintah Penagkapan Nomor: Sp. Kap / 135 / IX / 2023 / Reskrim, tanggal 04 September 2023 dan Penahanan dengan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP. Han/121/ IX/2023/Reskrim, tanggal 04 September 2023, berdasarkan rangkaian baik dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan, mapun penaangkapan dan penahanan tersebut Pemohon perlu sampaikan terhadap bantahan atau pembelaan Pemohon dalam keterangannya, Termohon belum melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi fakta dalam setiap peristiwa yang Pemohon terangkan, belum pula dilakukan konforontir antara Pemohon selaku terlapor/tersangka dengan Pelapor in casu Tri Rustiani maupun saksi-saksi lainnya, sehingga Pemohon bertanya-tanya 2 (dua) alat bukti yang apa yang dimiliki Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka;
4.    Bahwa Pemohon perlu menjelaskan fakta-fakta hukum untuk menggambarkan dugaan tindak pidana penipuan Jo penggelapan sebagaimana yang disangkakan kepada Pemohon bukan bermaksud untuk menjelaskan pokok perkara namun lebih kepada apakah benar penyidik in casu Termohon telah mengantongi setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah sehingga menetapkan Pemohon sebagai tersangka, hal ini jelas diperlukan melihat kenyataan bahwa perkembangan hukum modern hari ini tidak boleh kaku dan pragmatis mengikuti perkembangan hukum dalam menilai keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat;
5.    Bahwa Pemohon benar telah meminjam sejumlah uang kepada Pelapor in casu  Tri Rustiani secara bertahap sejak bulan agustus 2020 sehingga berjumlah Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah);
6.    Bahwa Pemohon meminjam uang tersebut bertujuan untuk mengembangkan usaha Pemohon sebagai modal membeli produk kosmetik atau skin care merk MS Glow yang sedang Pemohon geluti sejak tahun 2020 dengan janji akan mengembalikan uang tersebut secara bertahap juga ditambah keuntungan yang akan di terima oleh pelapor in casu Tri Rustiani;
7.    Bahwa perlu diketahui fakta lain adalah, saudari Tri Rustiani atau pelapor merupakan kerabat dekat Pemohon yakni bibi saudari sepupu ibu dari Pemohon, sehingga secara psikologi bisnis tidaklah terlalu berbelit-belit dalam merumuskan bentuk pinjaman uang tersebut dikarenakan kepercayaan yang dilatarbelakangi hubungan kekerabatan antara Pemohon dan Pelapor in casu Tri Rustiani;
8.    Bahwa kepercayaan pelapor tersebut juga diperkuat dikarenakan di bulan-bulan sebelumnya, telah berulang kali Pemohon meminjam uang Pelapor in casu  Tri Rustiani untuk kepentingan yang sama, yakni sebagai modal membeli produk kosmetik yang dimaksud, dan dikembalikan tepat waktu beserta keuntungan yang diperoleh pelapor;
9.    Bahwa dikarenakan berbagai hal, termasuk dampak dari pandemi Covid- 19, bisnis Pemohon mengalami penurunan sehingga kesulitan untuk mengembalikan uang Pelapor in casu Tri Rustiani, oleh karenanya pada tanggal 02 Oktober 2021, melalui musyawarah keluarga yang dihadiri, saudara Edi Sumarsono, saudari Titik, mewakili Pelapor yang merupakan saudara kandung Pelapor, saudara Saryono yang merupakan ayah Pemohon, saudara Ekis yang merupakan abang kandung Pemohon, saudari Estuningsih yang merupakan ibu Pemohon, serta Sujarno, diperoleh kesepakatan antara lain, Pemohon akan mengembalikan uang Pelapor in casu Tri Rustiani sejumlah Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah) dan 2 (dua) orang lainnya, saudari Nia sejumlah Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan Saudara Edi Sumarsono sejumlah Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah), sehingga ketiganya diakumulasikan sejumlah Rp. 480.000.000,- (empat ratus delapan puluh juta rupiah), yakni dengan cara menyerahkan 2 (dua) bidang tanah sawah dalam satu hamparan yang terletak di desa/kampung purwoadi dengan sertipikat hak milik nomor 360 dengan luas 5.320 m2 (lima ribu tiga ratus dua puluh meter persegi) dan nomor 361 dengan luas 1.325 m2 (seribu tiga ratus dua puluh lima meter persegi), sehingga apabila dikoversikan atau dijual sawah total seluas 6.645 m2 (enam ribu enam ratus empat puluh lima meter persegi) seharga Rp. 465.000.000, -(empat ratus enam puluh lima juta rupiah);
10.    Bahwa ternyata setelah pembeli sawah tersebut ada, baik Pemohon maupun orang tua Pemohon sebagai pemilik tanah tidak dilibatkan dalam proses jual beli yang dilakukan pada tanggal 23 Mei 2022, artinya kepala kampung yang saat itu dipercaya sebagai penengah para pihak yang saat itu terlibat hutang piutang tidak juga adil agar persoalan bisa selesai dengan baik;
11.    Bahwa dikarenakan ada kreditur lain yang bernama saudari Ferda mendengar akan terjadi jual beli sawah yanag menjadi bagian Pelapor, DKK, meminta agar di dahulukan sehingga terjadilah perubahan yang di putuskan dalam rapat yang disepakati oleh pihak-pihak yang disebutkan di atas dengan di fasilitasi oleh saudara Edi Sanepo selaku Kepala Kampung Purwoadi;
12.    Bahwa saudara Edi Sanepo selaku Kepala Kampung yang seharusnya menjadi penengah dan penyelesai persoalan warganya yang sedang berselisih malah memperkeruh situasi dengan tidak memanggil dan melibatkan si pemilik tanah atau saudara Saryono yang merupakan ayah kandung Pemohon ketika terjadi pembayaran oleh si pembeli tanah, yakni saudara Sri Wiyono, sehingga tidak jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada uang-uang hasil jual beli itu dibayarkan, padahal kesepakatannya hasil penjualan sawah tersebut hanya diperuntukkan kepada saudara ferda;
13.    Bahwa dikarenakan telah terjadi jual beli dengan sertipikat hak milik nomor. 360 dan sertipikat Nomor 361 kepada Sri Wiyono, dan hasil penjualannya hanya diperuntukkan kepada saudara ferda, Pemohon menyerahkan jaminan pembayaran dengan menyerahkan sertipikat hak milik nomor 325 kepada pelapor in casu Tri Rustiani sebagai gantinya, di buktikan dengan bukti surat penitipan sertipikat tanggal 9 april 2022, dimana apabila dinilai dengan harga pasar tanah sawah tersebut sebesar Rp. 245.000.000,- (dua ratus empat puluh lima juta rupiah) melebihi hutang Pemohon Kepada Pelapor in casu Tri Rustiani;
14.    Bahwa fakta lain adalah, dikarenakan sertipikat sawah nomor 325 dan fisik tanahnya yang menguasai adalah Pelapor, sedangkan piutang pelapor kepada Pemohon hanya sebesar Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta), sehingga saudara Estuningsih yang merupakan ibu Pemohon, saudara Ekis, saudara Sujarno mendatangi Pelapor in casu Tri Rustiani dengan maksud mempertanyakan bagaimana status tanah sawah tersebut, dan di jawab oleh pelapor in casu Tri Rustiani bahwa dia yang akan membelinya, kemudian saudara Estuningsih mempertanyakan sisa uangnya sejumlah Rp. 135.000.000,- (seratus tiga puluh lima juta) lagi, dengan perhitungan Rp. 245.000.000,- (dua ratus empat puluh lima juta rupiah) di kurangi Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah), dan di jawab oleh pelapor in casu Tri Rustiani telah di bayarkan kepada orang-orang yang bernama, saudara Nia, saudara Agus, dan saudara Novri secara sepihak, tentu Saudari Estuningsi merasa keberatan, sebab Pelapor tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan tersebut, dengan demikian dikarenakan tidak ditemukan penyelesaian, saudari Estuningsih meminta agar dibuatkan bukti bahwa sertipikat tersebut berada dalam penguasaan pelapor in casu Tri Rustiani;
15.    Bahwa Pemohon telah menyampaikan beberapa fakta kepada Termohon sebagai bentuk iktikad baik Pemohon untuk mengembalikan uang Pelapor in casu Tri Rustiani sebagai berikut:
a.    Pemohon sudah pernah memberikan keuntungan yang dijanjikan pada tanggal 31 Agustus 2021 sejumlah Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) kepada Pelapor in casu Tri Rustiani dan  mengembalikan sebagian pinjaman tersebut melalui transfer pada tanggal 26 September 2021 sejumlah Rp. 16.000.000,- (enam belas juta rupiah) dan keuntungan yang dijanjikan sejumlah Rp. 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) sehingga menjadi 16.800.000,- (enam belas juta delapan ratus ribu rupiah);
b.    Bahwa Pemohon telah juga beriktikad baik untuk menyelesaikan hutang tersebut dengan memberikan jaminan 2 (dua) buah sertipikat hak milik atas 2 (dua) bidang sawah seluas 6645 m2 (enam ribu enam ratus empat puluh lima meter persegi) kepada Pelapor in casu Tri Rustiani dan 2 (dua) orang lainnya bernama Edi Sumarsono dan Nia dengan tujuan sertipikat hak milik atas 2 (dua) bidang tanah sawah itu menjadi bentuk pembayaran baik untuk dimiliki maupun untuk dijual, namun apabila masih ada sisanya dikembalikan kepada Pemohon;
c.    Bahwa sekalipun ada perubahan dari perjanjian untuk menjual 2 (dua) bidang sawah tersebut dikarenakan adanya permintaan kreditur lain yang bernama saudara ferda yang meminta agar didahulukan untuk dilunasi, Pelapor in casu Tri Rustiani juga menerima sertipikat hak milik No. 325 berupa tanah sawah seluas 3780 m2 (tiga ribu tujuh ratus delapan puluh meter persegi) milik ayah Pemohon yang telah di ijinkan ayah Pemohon untuk dijual atau dijadikan alat pembayaran yang apabila dikonversikan ke dalam rupiah sejumlah Rp. 245.000.000,- (dua ratus empat puluh lima juta rupiah) sedangkan hutang Pemohon kepada Pelapor in casu Tri Rustiani sejumlah Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah), sehingga sangat wajar apabila Pemohon melalui ibu Pemohon meminta sisa uang tanah sawah yang masih berkisar sejumlah Rp. 135.000.000,- (seratus tiga puluh lima juta rupiah) dikarenakan Pelapor in casu Tri Rustiani menyatakan sebagai orang yang akan membelinya, pernyataan pelapor tersebut disaksikan dan didengar oleh saudara Ekis, saudara Sujarno, Saudara Subeki;
16.    Bahwa dari uraian fakta-fakta diatas ditemukan keterangan yang bertentangan dan atau ada keterangan yang tidak benar yang diberikan oleh Pelapor kepada penyidik in casu Termohon, sehingga Termohon untuk mendapatkan bukti yang berkualitas dan berkesesuaian seharusnya wajib melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi fakta seperti saksi Sujarno, saksi ekis, saksi Estuningsih, saksi asih Neliawati selaku Sektretaris Kampung, saksi susianto selaku Kepala Dusun II Kampung Purwoadi, saksi Edi Sanepo selaku Kepala Kampung, saksi Titik, saksi Nopriadi, saksi Ferda dan saksi Edi Sumarsono, saksi Nia, Saksi Agus, saksi dan saksi lainnya agar menjadi terang apakah keterangan Pemohon benar atau tidak;
17.    Bahwa dengan belum diperiksanya sebagian saksi-saksi yang disebutkan diatas, bagaimana Termohon dapat menggambarkan peristiawa tindak pidananya secara utuh dan benar, apalagi hanya memeriksa sebagian yang hanya menguntungkan pelapor saja, tentu tindakan Termohon tersebut sangat tidak fair dan cenderung memaksakan agar Pemohon menjadi tersangka, sehingga sangat wajar memunculkan pertanyaan 2 (dua) alat bukti apakah yang di dapatkan oleh Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka;
18.    Bahwa pertanyaan lain, MENGAPA keterangan saksi-saksi yang disebut sangat diperlukan?? Sebab ada keterangan baru dan sangat menentukan apakah terdapat niat jahat Pemohon  untuk melakukan tindak pidana seperti yang disangkakan, sebab ada keterangan yang bertentangan antara Pemohon dan Pelapor in casu Tri Rustiani yang disampaikan kepada Termohon yang diperkuat dengan bukti surat pada tanggal 08 agustus 2023 terkait Pemohon pernah mengembalikan sebagian sejumlah Rp. 16.800.000,- (enam belas juta delapan ratus ribu rupiah) dan Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) kepada Pelapor in casu Tri Rustiani, dimana Pelapor menyampaikan argument tanpa bukti dengan menyebutkan uang sejumlah Rp. 16.800.000,- (enam belas juta delapan ratus ribu rupiah dan uang sejumlah Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) tersebut merupakan pinjaman lain yang tidak termasuk dalam nominal Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah);
19.    Bahwa begitu juga dengan keterangan saksi Sujarno, Saksi Estuningsih, saksi Ekis, saksi Subeki diperlukan keterangannya untuk mengetahui apakah benar keterangan Pemohon yang menyatakan bahwa apakah benar atau tidak Pelapor in casu Tri Rustiani telah mendapatkan ganti pembayaran yang semula menggunakan sertipikat hak milik nomor 360 dan 361 berubah menjadi sertipikat hak milik nomor 325 tersebut, sebab dalam peristiwa lahirnya surat penitipan sertipikat no. 325 pada tanggal 9 April 2022, diterjemahkan oleh Terlapor bukan sebagai alat pembayaran namun hanya titipan dengan membaca secara redaksional isi dalam bukti surat tersebut tanpa memeriksa saksi-saksi fakta yang ada dalam peristiwa lahirnya surat tersebut, dengan demikian Terlapor telah membatasi diri dalam menemukan kebenaran materil, sehingga wajar Pemohon mencurigai apa yang disajikan Terlapor di saat gelar perkara dan yang dijadikan bahan referensi kepada ahli pun akan menghasilkan analisa dan pandangan telah terjadi tindak pidana dan ditemukan 2 (dua) alat bukti serta petunjuk, padahal Termohon belum melakukan serangkaian pemeriksaan terhadaop saksi-saksi yang menentukan seperti yang diuraikan di atas, perbuatan tidak wajar Termohon seolah-olah telah menghakimi Pemohon bahwa Pemohon harus bersalah, padahal walaupun perkara ini berubah status ke tingkat penyidikan, namun ternyata ada bukti baru yang mematahkan semua tuduhan kepada Pemohon, Termohon tidak perlu bersusah payah untuk menetapkan siapa tersangkanya dikarenakan peristiwa yang dilaporkan oleh pelapor in casu Tri Rustiani ternyata ditemukan kekeliruan dan bahkan ternyata peristiwa hukum yang dilaporkan oleh Pelapor in casu Tri Rustiani adalah kualifikasi keperdataan.
Dengan demikian tampak jelas telah terjadi kesewenang-wenangan Termohon dalam menentukan status Pemohon dalam perkara ini dengan tidak melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh saksi-saksi fakta yang terlibat dalam segmen-segmen peristiwa seperti yang diterangkan oleh Pemohon, dimana seyogyanya keterangan saksi-saksi fakta tersebutlah yang secara kualitas dan kuantitas hampir sempurna dalam membuat terang dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon;
20.    Bahwa dengan tidak diperiksanya saksi-saksi yang disebutkan oleh Pemohon diatas, maka timbul pertanyaan Pemohon, alat bukti yang bagaimana yang dimaksudkan Termohon sebagai 2 (dua) alat bukti dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka sebagaimana alat bukti yang sah dan berkesuaian dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga seseorang tidak perlu bersusah payah menjalani seluruh rangkaian proses persidangan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah pada pokok perkara saat perkara aquo akan disidangkan di pengadilan??;
21.    Bahwa merujuk amar putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 terkait norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, maka terhadap penetapan Pemohon sebagai tersangka ini muncul Pertanyaan:

Kapan Termohon memperoleh minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana yang termuat dalam pasal 183, Pasal 184 KUHAP yang dijadikan dasar oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai “tersangka” itu?

22.    Bahwa untuk menjawab pertanyaan di atas, maka terhadap tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka harus di uji dengan norma Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5, Pasal 1 angka 14 KUHAP dihubungkan dengan norma Pasal 183, Pasal 184 KUHAP untuk menilai apakah tindakan Termohon dalam Perkara a quo ini sah atau tidak sah;
23.    Bahwa norma Pasal 1 angka 14 KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah diputus dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 dengan amar yang berbunyi:

Frasa “ bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “ bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

Frasa “ bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “ bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
24.    Bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, maka norma Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai:
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” patut diduga sebagai pelaku tindak Pidana”;
25.    Bahwa merujuk norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, selanjutnya muncul pertanyaan: Kapan minimal dua alat bukti itu di dapat oleh Termohon? Apakah minimal dua alat bukti itu di dapat pada tahap Penyelidikan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 angka 5 KUHAP?, Ataukah pada tahap Penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP?;
26.    Bahwa menjawab pertanyaan diatas, jelas dan terang bahwa norma Pasal 1 angka 5 KUHAP menyebutkan penyelidikan diartikan sebagai “Serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan”. Sedangkan Penyidikan ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, yaitu “Serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”;
27.    Bahwa merujuk pengertian yang telah ditentukan oleh KUHAP sebagaimana termuat dalam norma Pasal 1 angka 5, Pasal 1 angka 2 KUHAP, maka untuk mencapai proses penentuan tersangka, haruslah terlebih dahulu dilakukan serangkaian untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana (penyelidikan). Untuk itu, diperlukan keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan bukti-bukti awal yang dapat dijalin sebagai suatu rangkaian peristiwa sehingga dapat ditentukan ada atau tidaknya suatu peristiwa pidana. Setelah proses penyelidikan tersebut dilalui, maka dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar ditemukan siapa tersangkanya atas suatu tindak pidana yang terjadi (Penyidikan). Kemudian untuk itu pula, kembali lagi haruslah dilakukan tindakan-tindakan untuk meminta keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan pengumpulan bukti-bukti sehingga peristiwa pidana yang diduga sebelumnya telah terjadi menjadi jelas dan terang, dan oleh karenanya dapat ditentukan siapa tersangkanya. Rangkaian prosedur tersebut merupakan cara atau prosedur yang wajib ditempuh oleh Termohon untuk mencapai proses penentuan Pemohon sebagai tersangka. adanya prosedur tersebut dimaksudkan agar tindakan penyelidik/Penyidik in casu Termohon tidak sewenang-wenang mengingat Pemohon mempunyai juga hak asasi yang harus dilindungi;
28.    Bahwa dasar hukum bagi Termohon dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan atas diri Pemohon dalam perkara a quo adalah KUHAP, yang mana ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP mengatur bahwa penyelidikan bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Sedangkan pengumpulan bukti-bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidananya dan menemukan tersangkanya dilakukan pada saat penyidikan sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP, oleh karenanya cukup alasan hukumnya dan sangat berdasar ketika sampai dalam tahap akhir penyelidikan, yang didapat Termohon sebagai kesimpulan adalah berupa “menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana”, dan bukan serta merta Termohon sudah menentukan calon tersangkanya in casu Pemohon apabila di hubungkan dengan perbuatan-perbuatan Termohon yang menolak memeriksa terlebih dahulu saksi-saksi yang diterangkan oleh Pemohon dalam pembelaannya untuk membuat terang perbuatan Pemohon tersebut apakah merupakan tindak pidana atau bukan;
29.    Bahwa tindakan penyidik in casu Termohon untuk menentukan Pemohon sebagai tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaiamana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh oleh Termohon haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian Hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi Pemohon yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur sebagaimana yang dimaksud tersebut tidak dipenuhi oleh Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka, maka sudah pasti proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan;
30.    Bahwa dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka ataupun nantinya dilanjutkan dengan penyitaan, penangkapan dan penahanan, maka setiap bukti permulaan haruslah dikonfirmasi antara satu dengan lainnya termasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal yang terakhir ini, dalam KUHAP tidak mewajibkan penyidik in casu Termohon untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada tersangka in casu  Pemohon, akan tetapi berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar.
31.    Bahwa Termohon terkesan terburu-buru (Premature) dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka, padahal nyata-nyata Pelapor telah memegang jaminan sertipikat hak milik nomor 325 yang nilainya melebihi hutang Pemohon kepada Pelapor in casu Tri Rustiani, sebelum perkara a quo dilaporkan kepada Termohon, akan tetapi pada saat Pemohon memberikan bukti surat titipan sertipikat nomor 325 kepada Termohon, kemudian Termohon berargumen bahwa tidak ada hubungan hukumnya dikarenakan yang menerima adalah Saudara Subeki yang merupakan suami pelapor in casu Tri Rustiani;
32.    Bahwa menurut hemat kami sangat janggal sikap Termohon dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, seolah-olah mewakili kepentingan pelapor in casu Tri Rustiani dengan tidak bersikap objektif dan professional dalam menangani perkara a quo, seharusnya Termohon memeriksa silang nama-nama orang-orang yang Pemohon ajukan sebagai saksi fakta yang mendengar dan mengalami peristiwa yang Pemohona terangkan, bukan malah membuat alibi masalah hubungan hukum antara Pelapor in casu Tri Rustiani dengan Subeki (suaminya) dalam arti penerimaan sertipikat berkaitan atau tidak;
33.    Bahwa menurut Pemohon, peristiwa pidana merupakan upaya untuk mencari kebenaran materil, sehingga ketika Pemohon memberikan keterangan bahwa telah terjadi kesepakatan pengembalian uang tersebut dengan jual beli terhadap sawah yang dijaminkan Sertipikat Nomor 325, walaupun secara formil yang tertulis di dalam surat judulnya adalah penitipan sertipikat no. 325, sehingga Termohon seharusnya wajib memeriksa saksi-saksi yang terlibat dalam peristiwa lahirnya surat tanggal 9 April 2022 serta melakukan konfrontir antara saksi satu dengan saksi lainnya sehingga secara objektif Termohon bisa menguraikannya dalam tahapan gelar baik di tingkat penyelidikan maupun penyidikan di hadapan peserta gelar sebagaimana yang di atur dalam peraturan terkait untuk itu;
34.    Bahwa Pemohon berpendapat, tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah sangat Prematur, terburu-buru dan terkesan dipaksakan, tidak memberikan ruang yang luas kepada Pemohon untuk membuktikan bahwa peristiwa hukum antara pemohon dan Pelapor in casu Tri Rustiani merupakan hubungan keperdataan sehingga sangat beralasan agar permohonan ini diterima;
35.    Bahwa Termohon seharusnya juga bisa lebih netral dengan memberikan ruang seluas-luasnya kepada Pemohon, sebab Termohon juga harus melayani dan mengayomi Pemohon yang juga sebagai warga negara Republik Indonesia, dengan kata lain setiap laporan tidak harus menjadi tindak pidana, bahkan tidak perlu ada yang ditersangkakan, apabila Termohon memposisikan diri sebagai Pengayom, Pelindung dan Pelayan Masyarakat, bila memang peristiwa yang dialami pelapor in casu Tri Rustiani adalah hubungan keperdataan, Termohon bisa menganjurkan untuk menyelesaikannya di ruang Pengadilan Perdata, bukan malah seolah-olah berpihak kepada pelapor in casu Tri Rustiani dengan mentersangkakan Pemohon in casu Hidayah Tri Astuti tanpa melalui proses hukum yang benar atau due process of law;
 
Oleh karenanya berdasarkan hal-hal diatas, maka menurut hemat Pemohon tindakan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka mengandung cacat formil karena belum memiliki 2 (dua) alat bukti yang sah dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka. Sehingga, mohon Yang Mulia Hakim Yang Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara aquo menyatakan penetapan Pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah;

 

PERKARA A QUO BUKAN MERUPAKAN KUALIFIKASI TINDAK PIDANA MELAINKAN HUBUNGAN KEPERDATAAN

1.    Bahwa awal mula perkara a quo yang diajukan praperadilan oleh Pemohon yakni, Pemohon mempunyai usaha atau bisnis menjual berbagai macam kosmetik (skin care) bernama MS glow dan membuka sebuah kios;
2.    Bahwa seiring berjalan waktu usaha Pemohon semakin dikenal konsumen, oleh karenanya Pemohon membutuhkan modal dan Pemohon mengajak saudari Tri Rustiani yang merupakan bibi atau sepupu ibu pemohon untuk bergabung sebagai member atau anggota dari skin care MS Glow tersebut, kemudian terjadilah hubungan hukum pinjam uang antara Pemohon dengan saudari Tri Rustiani selaku Pelapor sejumlah Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah) yang diterima Pemohon secara bertahap sekitar bulan agustus 2021 kemudian Pemohon berjanji akan mengembalikan pinjaman sejumlah tersebut secara bertahap juga dengan jangka waktu yang berbeda-beda;
3.    Bahwa sebelum perkara aquo dilaporkan kepada Termohon, Pemohon pernah mengembalikan sebagian uang pinjaman tersebut kepada pelapor melalui transfer rekening sejumlah Rp. 16.800.000,- (enam belas juta delapan ratus ribu rupiah) pada tanggal 26 September 2021 dan juga pernah memberikan keuntungan kepada Pelapor atau Tri Rustiani yakni di tanggal 31 Agustus 2021 sejumlah Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah);
4.    Bahwa dikarenakan terjadi masalah dalam usaha Pemohon dan akibat dampak Pandemi Covid 19, mengakibatkan Pemohon kesulitan melakukan kegiatan usaha yang menyebabkan Pemohon tidak bisa mengembalikan sisa uang Pelapor atau Tri Rustiani;
5.    Bahwa Pemohon berusaha menunjukkan iktikad baik untuk mengembalikan uang Tri Rustiani atau Pelapor dengan cara memberikan sebidang tanah bersertipikat seluas ± 3780 m2 sebagai jaminan yang diterima oleh Tri Rustiani bersama suaminya bernama Subeki sesuai dengan tanda terima surat penitipan sertipikat No. 325, tanggal 9 April 2022;
6.    Bahwa  sangat mengherankan bagi Pemohon yang mana menurut hemat Pemohon perkara a quo merupakan hubungan keperdataan dan bukan merupakan perbuatan yang masuk kategori tindak pidana. Namun terkesan dipaksakan, dan mulai masuk akal, sebab apapaun yang disajikan oleh Termohon dalam gelar perkara maupun permintaan ahli tidak lah sempurna disebabkan Termohon tidak secara menyeluruh memeriksa saksi-saksi fakta yang senyatanya telah saling bertentangan, bahkan Termohon akan memeriksa saksi-saksi tersebut setelah Pemohon ditetapkan tersangka dan ditahan adalah sungguh tindakan yang tidak menjungjung asas praduga tidak bersalah;
7.    Bahwa alasan perkara yang disangkakan kepada Pemohon merupakan kualifikasi perdata, dan di dalilkan sebagai alasan permohonan praperadilan ini dengan alasan agar dimasa mendatang Termohon tidak sewenang-wenang menjalankan due proses of law sehingga telah merampas kemerdekaan Pemohon in casu Hidayah Tri Astuti yang dalam hal ini belum tentu bersalah namun harus menjalani masa penahanan dan proses persidangan yang rumit dan menguras pikiran, waktu, dan biaya yang tidak sedikit.

Dapat di bayangkan Yang Mulia Hakim Yang Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara a quo, Pemohon in casu Hidayah Tri Astuti telah ditetapkan sebagai tersangka kemudian sekarang harus menjalani masa penahanan selama 20 hari kedepan ditambah penahanan lanjutan selama 40 hari, belum lagi 50 hari di tingkat Kejaksaan, dan ditambah masa penahanan yang akan dihabiskan Pemohon selama proses persidangan sampai putusan, namun ternyata dinyatakan lepas dari segala tuntutan disebabkan perbuatan tersangka in casu Pemohon merupakan kualifikasi perdata. Oleh karenanya, apakah dengan demikian tersangka/terdakwa in casu Pemohon harus menanggung penderitaan sedemikian beratnya? Dan bagaimana kah cara memulihkan kerugian yang dialami Pemohon yang kemerdekaannya sudah terlanjur dirampas lebih dari 100 hari, hal ini tentu menjadi pemikiran kita bersama, mengingat tuntutan rehabilitasi pada prakteknya jarang dengan tegas dapat memulihkan kerugian jiwa raga terdakwa yang dibebaskan karena tidak bersalah atau lepas dari segala tuntutan; sehingga sungguh tidak berlebihan apabila Pemohon menyandarkan harapannya kepada Yang Mulia Hakim Yang Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara Praperadilan ini agar berani mengambil terobosan untuk melihat secara komprehensif atas luasnya dampak yang akan di derita oleh Pemohon dengan cara dan proses penyidikan yang dilakukan Termohon dengan tidak mengedepankan penilaian yang wajar atas fakta-fakta yang terungkap dibuktikan dengan tidak segera memeriksa saksi-saksi fakta lainnya yang berkaitan namun sudah menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan melakukan penahanan;
8.    Bahwa Pemohon menemukan satu yurisprudensi pada Pra Peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor : 09/Pid/Pra/2015/Pn.Jkt.Brt Tanggal 18 November 2015, dimana hakim berani dengan tegas memutus perkara permohonan Praperadilan yang menyangkut kualifikasi keperdataan terkait laporan atas dugaan penipuan dan atau penggelapan dengan melihat faktor yang lebih menguntungkan Pemohon dalam putusannya, oleh karenanya, kami yakin dan percaya di sini keadilan akan tegak dengan kemuliaan yang ada pada Yang Mulia Hakim Yang Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Perkara A quo untuk berani juga mengambil sikap agar di masa mendatang Termohon baik secara keseluruhan maupun oknum-oknum tidak sewenang-wenang menjalankan tugas dan fungsi yang ada padanya in casu Termohon;
9.    Bahwa hubungan yang terjalin antara Pemohon dengan Pelapor in casu Tri Rustiani adalah hubungan keperdataan dan bukan merupakan sebuah tindak pidana dikarenakan pada awalnya Pemohon hanya meminjam uang untuk modal usahanya dan pula uang tersebut Sebagian telah dikembalikkan sebagian kepada Tri Rustiani, kemudian pada tanggal 9 April 2022 saksi Saryono yang merupakan orang tua dari Pemohon telah menjaminkan pula sebuah sertipikat hak milik no. 325 kepada pelaor in casu Tri Rustiani sebelum Pemohon dilaporkan pelapor kepada Termohon yang hingga sekarang baik sertipikatnya maupun fisik dari tanah sawahnya masih dalam penguasaan Pelapor in casu Tri Rustiani.

Maka berdasarkan Katalog Yurisprudensi Nomor 4/Yur/Pid/2018 yang kaidah hukumnya “para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik”;

Pendapat Mahkamah Agung dalam katalog yang sama berbunyi :
Dari putusan-putusan tersebut terlihat bahwa pada dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanya hubungan keperdataan, seperti perjanjian, dan perbuatan yang menyebabkan perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan terjadi setelah perjanjian tersebut dibuat, maka perkara tersebut adalah perkara perdata dan bukan perkara pidana. Hal ini juga sejalan dengan yang disebutkan dalam Putusan No. 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga ditemukan dalam Putusan No. 43 K/Pid/2016 (Haryono Eddyarto), No. 1327 K/Pid/2016 (Apriandi), No. 342 K/Pid/2017 (Markus Baginda), dan No. 994 K/Pid/2017 (Aprida Yani).

Dengan demikian menurut hemat Pemohon, sudah sepantasnya dan atau sepatutnya benar dan meyakinkan perkara a quo merupakan mutlak hubungan keperdataan dan tidak masuk dalam kualifikasi tindak pidana. Oleh karenanya mohon agar dikabulkan menyatakan penetapan tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
10.    Pendapat lain diberikan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1357 K/Pid2015 yang mana Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut :
Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjalin antara para Terdakwa dengan saksi korban adalah hubungan keperdataan berupa hubungan hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah kebundan tanah atau rumah milik para Terdakwa, dan ternyata dalam hubungan hukum tersebut para Terdakwa melakukan ingkar janji atau wanprestasi dengan cara tidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau rumah miliknya kepada saksi korban. Perbuatan para Terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi perbuatan para Terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui hukum keperdataan.

Melihat pertimbangan Mahkamah Agung diatas dihubungkan dengan permasalahan Pemohon tentunya perkara yang dilakukan praperadilan oleh Pemohon jelas merupakan perkara Perdata dan bukan menjadi ranah tindak pidana. Oleh karena hal tersebut Pemohon meminta dan atau memohon kepada Yang Mulia Hakim Yang Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Perkara a quo untuk menyatakan perkara a quo adalah Hubungan Perdata dan bukan kualifikasi tindak pidana;
11.    Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, jelas dan terang Termohon telah salah kaprah menetapkan Pemohon sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana dimana peristiwa yang terjadi dalam perkara a quo adalah hubungan keperdataan yang jauh dari peristiwa pidana, sehingga Pemohon meminta dan atau memohon kepada Yang Mulia Hakim Yang Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Perkara Praperadilan ini untuk menyatakan Penetapan Tersangka Nomor S.Tap/171/VIII/2023/Reskrim, tanggal 25 Agustus 2023 berikut dengan Tindakan turunannya TIDAK SAH atau CACAT HUKUM;
12.    Bahwa apabila Termohon lebih teliti dan bersikap netral dengan memeriksa saksi-saksi yang diterangkan Pemohon sebelumnya kepada Termohon dalam Berita Acara Pemeriksaan pada tanggal 08 agustus 2023, dan melakukan penyitaan barang bukti berupa sertipikat hak milik nomor 325 dari tangan Pelapor in casu Tri Rustiani dengan dimaksudkan untuk melihat kesesuaian dengan bukti atau setidaknya dua alat bukti yang mengkaitkan barang bukti tersebut diperoleh dari pelapor in casu Tri Rustiani, sangat dimungkinkan pendapat-pendapat peserta gelar maupun ahli yang dimintai keahliannya oleh Termohon akan berubah dalam menentukan kualifikasi perbuatan Pemohon, apakah merupakan perbuatan pidana atau perbuatan keperdataan?;
13.    Bahwa sejalan dengan norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, dalam pasal lainnya yaitu Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur pengertian Penyidikan yang semestinya tidak ada keraguan lagi untuk menyatakan bahwa tindakan utama penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran dari tiga hal, yaitu:
1.    Bukti;
2.    Tindak Pidana; dan
3.    Pelakunya (Tersangka).
Oleh karena itu, penentuan ada tidaknya tindak pidana dan juga pelaku tindak pidananya ditentukan oleh bukti yang berhasil ditemukan penyidik in casu Termohon dengan kata lain, tidak akan ada tindak pidana yang ditemukan dan juga tidak ada pelaku (tersangka) yang dapat di temukan apabila penyidik in casu Termohon gagal menghadirkan bukti-bukti yang dimaksud;

Dengan demikian, tindakan penyidikan tidak mengharuskan penyidik in casu Termohon untuk menetapkan adanya tersangka dan juga tindak pidananya kecuali hal tersebut didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti yang sah yang berhasil ditemukan penyidik in casu Termohon yang menunjukkan bahwa seseorang in casu Pemohon patut diduga sebagai pelaku tindak pidana tersebut;
14.    Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, “ bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” yang tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah Physical evidence atau real evidence yang tentunya tidaklah dapat terlepas dari pasal yang disangkaan kepada Pemohon sebagai tersangka, yang pada hakekatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen-elemen yang ada dalam suatu pasal yang disangkakan dan dihubungkan dengan dua alat bukti yang sah yang ditemukan oleh Termohon;
15.    Bahwa frasa “...guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP harus dipahami “guna menemukan tersangkanya yang memenuhi unsur kesalahan bagi dirinya”. unsur kesalahan (schuld) harus dibuktikan karena seorang tidak dapat dipidana (dihukum) tanpa kesalahan. Karena itu menjadikan Pemohon selaku tersangka tanpa dibuktikan unsur kesalahan bagi dirinya, merupakan kesewenang-wenangan Termohon;
16.    Bahwa Penentuan status Pemohon menjadi TERSANGKA oleh Termohon yang tidak didasarkan minimal dua alat bukti yang  sah termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sesuai Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 merupakan tindakan sewenang-wenang, dan merupakan pelanggaran serius hak konstitusional Pemohon selaku warga negara Indonesia di dalam Negara berdasarkan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, selain itu juga bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
17.    Bahwa penentuan status Pemohon sebagai tersangka oleh Termohon tidak didasarkan dengan 2 (dua) alat bukti yang sah, baik secara kuantitas maupun kualitas, artinya, penentuan Pemohon sebagai tersangka bertentangan dengan Pasal 183 KUHAP maupun bertentangan dengan rumusan delik yang disangkakan. Sebagai contoh konkrit penerapan Pasal 378 KUHP dalam rumusan delik yang disangkakan tidak sesuai dengan adanya fakta tentang adanya pengembalian uang dari Pemohon kepada pelapor in casu Tri Rustiani dan adanya pemberian 2 (dua) bidang tanah sawah dengan sertipikat hak milik nomor 360 dan 361 sebagai alat pembayaran hutang Pemohon, walaupun didalam perjalananya terjadi perubahan atas kesepakatan bersama diberikan juga sebidang sawah dengan sertipikat hak milik nomor 325 kepada pelapor in casu Tri Rustiani yang di ikuti dengan peristiwa jual beli yang diucapkan pelapor in casu Tri Rustiani kepada saksi Estuningsih yang merupakan ibu Pemohon, artinya tidak tampak niat jahat dari Pemohon untuk melakukan penipuan terhadap Pelapor begitu juga dengan sangkaan penggelapan, sebab pelapor telah memegang 1 (satu) buah sertipikat hak milik no. 325 atas sebidang tanah sawah kemudian diikuti dengan pembelian yang telah diucapkan, bahkan sisa uangnya, pelapor in casu Tri rustiani sendiri menyampaikan telah di bagi-bagi kepada pihak lain yang mengaku telah di pinjam uangnya oleh Pemohon in casu Hidayah Tri Astuti;
18.    Bahwa Pemohon dalam memberikan kuasanya kepada pelapor in casu Tri Rustiani, saksi Subeki suami dari pelapor, untuk melakukan perbuatan hukum memegang sertipikat yang disebutkan adalah bentuk pertanggungjawaban Pemohon sekaligus menunjukkan iktikad baik Pemohon, walaupun diikuti dengan tindakan sewenang-wenang Pelapor in casu Tri Rustiani dengan membagi-bagi uang sisanya kepada orang-orang yang mengklaim mempunyai piutang dengan Pemohon. Bagaiaman hal sepenting itu luput dari penyelidikan dan penyidikan Termohon, apabila tujuannya ingin menegakkan keadilan ditengah masyarakat apalagi kepada dua pihak yang sedang berperkara untuk menentukan menentukan sebuah peristiwa apakah merupakan tindak pidana atau tidak;
19.    Bahwa sangat mengherankan Termohon dalam hal ini tidak jeli atau ada satu perbuatan yang tidak lazim dengan tidak mengkonfrontir saksi-saksi baik dari pihak pelapor in casu Tri Rustiani dan saksi fakta lainnya yang diterangkan oleh Pemohon agar terang dan jelas duduk perkaranya dalam menemukan satu peristiwa hukum yang ditangani oleh Termohon, sehingga apabila di dapat fakta bahwa ini adalah hubungan keperdataan agar para pihak yang berperkara menyelesaikannya di ruang keperdataan;
20.    Bahwa merujuk ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP, sangat jelas dan terang Termohon dalam Penyidikannya untuk mengumpulkan bukti-bukti tidak menganalisis “TEMPUS DELICTI” yang berkesesuaian satu sama lain  dikarenakan tidak memeriksa secara keseluruhan saksi-saksi fakta yang termuat dalam setiap peristiwa secara benar atas dokumen yang telah dikumpulkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas atas dokumen yang dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti yang sah, yang apabila Termohon melakukan analisis “TEMPUS DELICTI” dimaksud atas dokumen yang dikumpulkan secara benar, tentunya saat ekspose atau gelar perkara yang di peroleh Termohon adalah kesimpulan dari Penyidikan adalah “ tidak ditemukannya suatu Peristiwa yang di duga sebagai tindak Pidana yang dilakukan oleh Pemohon, karenanya tidak cukup alasan hukumnya menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang diduga melakukan tindak Pidana”. Dengan demikian tindakan Termohon yang serta merta menyatakan Pemohon sebagai tersangka yang dilanjutkan dengan Surat Panggilan Nomor: S. Pgl/361/VIII/2023/Reskrim, tanggal 25 Agustus 2023 dan Surat Panggilan Ke II Nomor: S.Pgl/369/VIII/2023/Reskrim, tanggal 31 Agustus 2023, serta terhadap diri Pemohon telah dilakukan penahanan merupakan bentuk kesewenang-wenangan Termohon yang nyata-nyata melanggar hak asasi Pemohon;
21.    Bahwa dalam praktik hukum pada dasarnya hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh Negara dalam proses penyelidikan, Penyidikan hingga proses peradilan dengan metode baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung. Hukum acara tersebut dirancang sedemikian rupa untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang biasa disebut sebagai “due process of law” untuk mencari keadilan yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam due Process of law menguji dua hal, yaitu (1). Apakah negara telah menghilangkan kehidupan, kebebasan dan hak milik tersangka tanpa Prosedur, (2) jika menggunakan Prosedur, apakah Prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due Process (Rhonda Wasserman, 2004, Procedural Due Process: A Reference Guide to the United States Constitution, Santa Barbara: Greenwood Publishing Group, Halaman 1);
22.    Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Termohon seolah lupa atau tidak sadar atau tidak mau tahu, bahwa sebagaimana yang dituliskan oleh Eddy OS Hiariej dalam bukunya tersebut di atas, hukum acara pidana sangat terikat dengan sifat keresmiannya dan karakter hukum acara pidana yang sangat menjunjung tinggi legalisme, yang berarti berpegang teguh pada peraturan, tata cara atau penalaran hukum menjadi sangat penting dalam hukum acara pidana. Oleh karena, menurut Pemohon sudah seharusnya hukum dapat digunakan untuk melakukan koreksi oleh Pengadilan terhadap tindakan penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon yang dilakukan secara melanggar asas kepastian hukum itu, dengan menyatakan secara tegas bahwa Penetapan Tersangka terhadap Pemohon a quo adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum yang mengakibatkan Termohon tidak mempunyai kewenangan atau legal standing untuk melakukan proses penyidikan dan perbuatan lainnya terhadap perkara a quo dan mewajibkan Termohon untuk menghentikan perkara aquo dengan segala akibat hukumnya;

23.    Dengan demikian berdasarkan seluruh uraian diatas, maka tindakan atau proses penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait Penetapan diri Pemohon sebagai Tersangka secara hukum adalah juga tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga sudah dipatutnya Pemohon juga dengan segera dikeluarkan dari tahanan sejak putusan diucapkan atau salinannya diterima Termohon. Oleh hal lainnya, perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka tanpa prosedur dan cacat yuridis/bertentangan dengan hukum, telah mengakibatkan kerugian materil dan immaterial  yang tidak dapat dihitung dengan uang, namun untuk kepastian hukum dengan ini Pemohon membatasi kerugian tersebut sejumlah Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah);

Bahwa upaya hukum Praperadilan ini Pemohon lakukan semata-mata demi mencari kebenaran hukum, dan sebagaimana pendapat dari M. Yahya Harahap, bahwa salah satu fungsi upaya hukum Praperadilan adalah sebagai pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan. Dan sebagaimana pula pendapat Loebby Loqman, bahwa fungsi pengawasan horizontal terhadap proses pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh lembaga Praperadilan tersebut juga merupakan bagian dari kerangka system peradilan pidana terpadu. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pengawasan horizontal dari lembaga Praperadilan tersebut adalah sesuai dengan tujuan umum dibentuknya KUHAP, yaitu untuk menciptakan suatu proses penegakan hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law;

Due process of law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of law, akan tetapi  merupakan unsur yang essensial dalam penyelenggaraan peradilan yang intinya adalah bahwa ia merupakan “….a law which bears before it condemns, which proceeds upon inquiry, and renders judgement only after trial….”. pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government. Oleh karena itu, Praperadilan memiliki peran yang penting untuk meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pelaksanaan proses penegakan hukum, agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;

Kita bersama memahami bahwa penyidik merupakan pihak yang paling berwenang dalam tahap penyidikan karena mempunyai tugas yang sangat penting pada proses penegakan hukum sehingga dapat mempengaruhi jalan selanjutnya dari proses penyelesaian suatu perkara pidana. Oleh karenanya kami sangat berharap “sentuhan” Hakim Yang Mulia dalam putusannya agar dapat menegakkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi Pemohon dalam kasus a quo. Kami menempuh jalan ini karena kami yakin bahwa melalui forum Praperadilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas public (Public accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan for

Pihak Dipublikasikan Ya